Hari Ibu adalah hari peringatan/ perayaan terhadap peran seorang ibu dalam keluarganya, baik untuk suami, anak-anaknya, maupun lingkungan sosialnya.
Peringatan dan perayaan biasanya dilakukan dengan membebas-tugaskankan ibu dari tugas domestik yang sehari-hari dianggap merupakan kewajibannya, seperti memasak, merawat anak, dan urusan rumah tangga lainnya.
Di Indonesia hari ini dirayakan pada tanggal 22 Desember dan ditetapkan sebagai perayaan nasional.
Sementara di Amerika, dan lebih dari 75 negara lain, seperti Australia, Kanada, Jerman, Italia, Jepang, Belanda, Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Hongkong dalam Hari Ibu atau Mother’s Day (dalam bahasa Inggris) dirayakan pada hari Minggu di pekan ke dua bulan Mei. Di beberapa negara Eropa dan Timur Tengah, Hari Perempuan Internasional atau International Women’s Day (dalam bahasa Inggris) diperingati setiap bulan 8 Maret.
Lalu Bagaimana Hukum Merayakan Hari Ibu itu dilihat dari kacamata Islam ???,
Berikut ini Fatwa dari Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih Al-’Utsaimin Rahimahullah :
Dengan semakin gencarnya iklan-iklan yang menyerukan peringatan hari ibu di negeri ini (Kuwait), maka sebagai realitas dari sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
الدين النصيحة, قلنا: لمن؟ قال: “لله, ولكتابه, ولرسوله, ولأئمة المسلمين, وعامتهم” (رواه مسلم).
“Agama adalah nasehat”. Kami bertanya:’Bagi siapa?’, Rasul bersabda:”Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin, dan umumnya mereka” (HR. Muslim).
Berikut kami nukilkan fatwa Syaikh Muhammad bin Sholih Al-’Utsaimin rahimahullah Ta’ala berkenaan dengan peringatan hari ibu.
Soal: Apa hukum memperingati hari ibu?
Jawab: Sesugguhnya setiap hari raya yang menyelisihi hari raya syar’I adalah bid’ah semuanya, tidak dikelnal dimasa salafus sholih. Bahkan bisa jadi, hari raya itu berasal dari non muslim yang di dalamnya terdapat kebid’ahan dan tasyabuh (menyerupai) musuh-musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Hari raya syar’I yang dikenal umat Islam adalah; Idul Fithri, Adul Adhah dan Ied dalam sepekan yaitu hari Jum’at. Di dalam Islam tidak ada hari raya kecuali hanya tiga, semua perayaan yang ada selain yang tiga ini adalah tertolak dan bathil menurut syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala berdasarkan sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam:
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد
”Barangsiapa yang mengadakan perkara-perkara yang baru dalam urusanku ini (Islam) yang tidak bersumber darinya, maka amalan tersebut akan tertolak”.
Dalam riwayat lain berbunyi:
من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
“Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang bukan dari urusanku (Islam), maka amalan tersebut tertolak”.
Bila hal itu dijelaskan, maka perayaan hari ibu tidak diperbolehkan. Tidak boleh mengadakan simbol-simbol perayaan seperti kegembiraan, kebahagiaan, penyerahan hadiah dan lain sebagainya. Seorang muslim wajib memuliakan agamanya dan bangga dengannya dan hendaknya membatasi diri dengan ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya dalam agama yang lurus yang telah diridloi Allah Ta’ala untuk hamba-Nya, tidak ditambah maupun dikurangi.
Seorang muslim seharusnya tidak ikut-ikutan, mengikuti setiap bunyi burung gagak. Tetapi haruslah membentuk kepribadiannya sesuai dengan ketentuan syari’at Allah Azza wa Jalla, sehingga menjadi ikutan, bukan sekedar menjadi pengikut, menjadi contoh bukan yang mencontoh. Karena syari’at Allah –alhamdulillah- adalah sempurna dilihat dari sisi manapun, sebagiaman firman Allah:
…الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّإِثْمٍ فَإِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ (3) سورة المائدة
“Pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridloi Islam itu menjadi agama bagimu” (QS. Al-Maidah: 3).
Haknya seorang ibu lebih besar daripada sekedar disambut sehari dalam setahun. Bahkan seorang ibu mempunyai hak yang harus dilakukan oleh anak-anaknya, yaitu memelihara dan memperhatikannya serta menta’atinya dalam hal-hal yang tidak maksiat kepada Allah Azza wa Jalla disetiap waktu dan tempat.
Dinukil dari Majmu’ Fatawa, 2/300-301 soal no. 353.
======================================
س: عن حكم الاحتفال بما يسمى عيد الأم؟
ج: إن كل الأعياد التي تخالف الأعياد الشرعية كلها أعياد بدع حادثة لم تكن معروفة في عهد السلف الصالح وربما يكون منشؤها من غير المسلمين أيضا, فيكون فيها مع البدعة مشابهة أعداء الله – سبحانه و تعالى-, والأعياد الشرعية معروفة عند أهل الإسلام, وهي عيد الفطر, وعيد الأضحى, وعيد الأسبوع (يوم الجمعة) وليس في الإسلام أعياد سوى هذه الأعياد الثلاثة, وكل أعياد أحدث سوى ذلك فإنها مردودة على محدثيها وباطلة في شريعة الله – سبحانه و تعالى- لقول النبي صلى الله عليه و سلم :“من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه وهو رد” أي مردود عليه غير مقبول عند الله, وفي لفظ: “من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد”. وإذا تبين ذلك فإن لا يجوز في العيد الذي ذكر في السؤال والمسمى عيد الأم, لا يجوز فيه إحداث شيء من شعائر العيد؛ كإظهار الفرح والسرور, وتقديم الهدايا وما أشبه ذلك, والواجب على المسلم أن يعتز بدينه ويفتخر به وأن يقتصر على ما حده الله تعالى ورسوله صلى الله عليه وسلم في هذا الدين القيم الذي ارتضاه الله تعالى لعباده فلا يزيد فيه ولا ينقص منه, والذي ينبغي للمسلم أيضا ألا يكون إمعة يتبع كل ناعق بل ينبغي أن يكون شخصيته بمقتضى شريعة الله تعالى حتى يكون متبوعا لا تابعا, وحتى يكون أسوة لا متأسيا, لأن شريعة الله –والحمد الله- كاملة من جميع الوجوه كما قال تعالى:” …الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّإِثْمٍ فَإِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ (3) سورة المائدة. والأم أحق من أن يحتفي بها, وأن يقوموا بطاعتها في غير معصية الله عز و جل في كل زمان و مكان.
*) مجموع فتاوى, جـ : 2/300-301.
Sikap Muslim Terhadap Perayaan Hari Ibu
Oleh: Syaikh Muhammad Bin Shalih Al Utsaimin
Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah ditanya tentang hukum perayaan Hari Ibu. Beliau Menjawab:
Sesungguhnya setiap perayaan yang menyelisihi perayaan-perayaan yang disyari’atkan adalah perayaan bid’ah yang tidak dikenal pada masa Salafush Shalih dan terkadang berasal dari kalangan non Islam, sehingga disamping bid’ah terdapat penyerupaan dengan gaya hidup musuh-musuh Allah Subhanahu Wata’ala. Perayaan-perayaan yang disyari’atkan dan dikenal dalam Islam adalah Idul Fithri, Idul Adha, Idul Usbu’ (hari Jum’at) dan tidak dikenal dalam Islam selain ketiga perayaan tersebut.
Setiap pesta perayaan selain ketiga perayaan tersebut (Idul Fitri, Idul Adha, Hari Jum’at -red) maka sia-sia dan batal demi syari’at Allah, berdasarkan sabda Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam (yang artinya), “Barangsiapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami, sesuatu yang bukan berasal darinya maka tertolak”. Yakni sia-sia dan tidak diterima disisi Allah Subhanahu Wata’ala, dan dalam lafadz yang lain, “Barangsiapa beramal tanpa ada tuntunan dari kami maka tertolak.”
Apabila telah jelas perkaranya maka tidak boleh mengadakan perayaan Hari Ibu seperti dalam pertanyaan di atas, tidak boleh pula menampakkan keceriaan dan kebahagiaan di hari tersebut layaknya perayaan sebuah hari raya seperti pemberian hadiah dan semisalnya. Wajib atas setiap muslim untuk merasa mulia dan bangga dengan agamanya dan mencukupkan diri di atas ketetapan Allah dan Rasul-Nya di dalam agama yang lurus yan telah diridhai Allah Subhanahu Wata’ala untuk hamba-hamba-Nya, maka tidak boleh seorang muslim menambah atau menguranginya.
Dan seyogyanya setiap muslim tidak menjadi pengekor kepada setiap propaganda namun semestinya dia menempa kepribadiannya dengan kandungan syari’at Allah Subhanahu Wata’ala sehingga menjadi contoh dan teladan bukan sebagai pengekor, karena syari’at Allah -wal hamdulillah- sempurna dari berbagai sisinya sebagaimana firman Allah subhanahu Wata’ala (yang artinya), “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam sebagai agama kalian” (Al Maidah:3)
Seorang IBU tidak cukup diperlakukan dengan baik, penuh hormat dalam setahun sekali saja, akan tetapi justru anak-anaknya yang berkewajiban untuk menjaga, memberikan perhatian dan taat kepadanya pada selain maksiat kepada Allah di setiap waktu dan tempat. (Majmu’ Fatawa 2/301)