Minggu, 28 November 2010

Asma' Binti Abu Bakar



Wanita ini adalah saudara Aisyah istri Rasulullah. Ayahnya adalah Abu Bakar Ash Shidiq. Usianya terpaut 17 tahun dari adiknya Aisyah. Asma’ binti Abu Bakar masuk islam setelah 17 sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam terlebih dahulu memeluk agama yang mulia ini. Ibu kandungnya Qatilah binti Abdul Uzza al amiriyah telah bercerai dengan ayahnya di masa jahiliyah. Suatu saat ibunya mengunjunginya karena rindu, namun ia tak mau menjumpainya karena waktu itu ibunya masih musyrik. Maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam langsung menjawab, “Ya, temuilah ibumu.” Saat Rasulullah dan ayahnya Abu Bakar bersembunyi di gua. Asma’ lah yang mengirim makanan serta minuman kepada mereka. Asma’ merobek kain selendangnya menjadi dua untuk memperingan beban berupa makanan dan minuman yang dibawahnya untuk ayahnya dan Rasulullah. Karena melihat hal itu, Nabi lantas memberinya gelar pemilik ikat dua pinggang.
Asma’ juga seorang putri yang pandai menghibur dan menenangkan hati orang lain. Saat ayahnya Abu Bakar hijrah bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam, beliau membawa hartanya sebanyak 5000 atau 6000 dirham. Abu Quhafa kakek Asma’ seorang tuna netra merasa khawatir dengan Asma’ yang tinggal ayahnya untuk hijrah tanpa meninggalkan sedikitpun harta untuk putrinya. Melihat kegalauan kakeknya dengan tenang Asma’ berkata “Sesungguhnya semuanya tidaklah demikian. Ayah pergi meninggalkan kebaikan yang baik untuk kita semua.” Asma’ kemudian mengambil kerikil dan membungkusnya dengan kain dan ia letakkan di lubang rumahnya. Kemudian ia gandeng kakeknya dan ia sentuhkan pada kerikil yang telah dibungkus kain tadi seraya berkata, “Ini adalah harta ayah yang telah ditinggalkan untuk kita semua.”
Kakeknya pun kontan berucap dengan hati yang senang,” Oh, kalau demikian adanya alangkah bijaknya.” Dengan kecerdasan akalnya, Asma’ berhasil menenangkan keresahan kakeknya. Tidak hanya itu Asma’ juga amat tegar menghadapi segala ancaman yang menerpanya, di saat usianya masih amat belia.Suatu ketika, musuh Allah Abu Jahal datang kepadanya dan memaksa dirinya untuk mengatakan tempat persembunyian Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam dan ayahnya. Ia tahu kesalahan kata sedikit saja yang ia ucapakan akibatnya adalah bahaya besar. Karenanya dengan rasa tanggung jawab penuh ia tidak berkata apapun kecuali, “Aku tidak tahu.”
Melihat hal itu, Abu Jahal naik pitam, hingga tanpa rasa kasihan sedikitpun ia segera melayangkan tanganya ke wajah Asma’ sekeras-kerasnya, hingga membuat anting-anting yang dikenakan Asma’ terlepas. Kemudian Abu Jahal pergi dengan memendam rasa marah yang membara.
Tidk lama berselang, Asma’ yang kala itu mengandung anak pertama dari pernikahannya dengan Zubairikut rombongan untuk berhijrah. Dan putranya adalah Abdullah bin Zubair lahir di sana. Abdullah adalah bayi kelahiran pertama dalam Islam.
Saat menikah dengan Zubair, suami Asma’ ini masih dalam keadaan sangat papa. Namun Asma’ sabar mengarungi hidup bersamanya. Harta satu-satunya dimiliki suaminya adalah kuda perang. Dan Asma’ lah yang merawat serta menberi makan setiap harinya. Ia juga mencari dan mengunmpulkan biji kurma dari pekarangan Zubair kemudian ditumbuk untuk memandikan kuda suaminya. Padahal jarak yang ia tempuh sangatlah jauh. Melihat beban hidup putrinya sangat berat, di kemudian hari ayahnya Abu Bakar memberinya seorang pembantu serta menanggungkan seluruh kuda suaminya.
Setelah ia sekian lama dengan suaminya Zubair mengalami cobaan kemiskinan, akhirnya Allah Subhanahu Wa  Ta’ala memberikan curahan nikmat yang amat melimpah kepada keduanya. Namun curahan nikmat itu tidak membuat keduanya menjadi sombong dan lupa diri. Bahkan kenikmatan itu dijadiknnya kesempatan untuk berderma kepada orang lain tanpa ada kamus menyimpan untuk hari esok. Saat beliau sakit dan diberikn kesehatan kembali, ia lantas membebaskan seluruh hamba sahayanya seraya berkata kepada putra-puutrinya dan sanak keluarganya, “Berinfaklah kalian, bersedekahlah dan janganlah kalian menangguhkan cadangan.”
Kesabaran Asma’ teruji ketika anaknya Abdullah mendapat musibah. Hajaj telah mengpung kota Makkah bersama pasukannya. Saat itu Asma’ sudah sangat tua , buta penglihattannya karena umurnya sudah mendekati usia 100 tahun.
“Wahai Ibu, kini aku telah terkepung. Padahal kini ank buahku tinggal segelintir saja yang tak mungkin bertahan lebih dari satu jam. Musuh kini menawari dengan isi dunia. Kini apa pendapat ibu?”
Ini ujian tersulit untuk seorang Ibu. Namun kebnenaran tetap mendominasi relung hatinya. Dengan tenang ia menjawab, “ Demi Allah, Engkau lebih tahu jawabannya wahai anakku. Karena itu majulah pantang mundur. Temanmu telah banyak yang gugur di jalan ini. Dan janganlah dirimu rela dipermainkan oleh anak-anak Bani Umayyah. Maka jika engkau menuruti mereka maka engkau adalah seburuk-buruknya manusia. Engkau binasakan dirimu dan engkau juga membinasakanyang turut serta membelamu.”
Saat dalam keraguan Asma’ kembali mendorong semangatnya tanpa jemu, “ Wahai anakku, kambing itu sesungguhnya tidak akan merasakan kesakitan lagi setelah disembelih. Tetaplah dalam kebenaran dan minta tolonglah kepada Allah.”  Kemudian Asma’ mendekati putranya. Merangkul dan menciumnya dengan sepenuh hati sambil mengucapkan selamat tinggal. Ia sentuhkan jari tengahnya di perisai Abdullah seraya berkata,”Ini wahai Abdullah, yang membuat perisai ini menginginkan benda ini dipakai untuk memenuhi keinginanmu.”
Atas semangat yang diberikan sang ibu. Abdullah lantas turun ke kancah pertempuran melawan Hajaj dan pasukkannya tewas terbunuh. Hajaj manusia bengis itu memerintahkan pasukkannya untuk menyalib jasad Abdullah, setelah itu ia menemui Asma’ seraya berkata “Wahai Ibu, Amirul Mukminin sesungguhnya telah memerintahkan aku ibu dan menanyakan keperluanmu.” Dengan berani Asma’ menjawab, ” Aku bukan ibumu. Tapi aku adalah ibu dari orang yang engkau salib di ujung pohon. Saya hanya akan menegurmu, bahwa Rasulullah Shalallahu ’alaihi wassalam dulu pernah bersabda, Akan muncul Tsaqif seorang pembohong dan seorang pembuat kerusakan. Adapun seorang pembohong aku telah mengenalnya (yang dimaksud beliau Muktamar bin Ubaid At Tsaqifi) adapaun pembuat kerusakkan adalah engkau.”
Beberapa malam setelah kejadian itu, Asma’ meninggal dunia dalam usia 100 tahun. Sedang peristiwa pembunuhan sadis yang menimpa anaknya Abdullah terjadi pada 17 Jumadil Ula 73 Hijriyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar